Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber
dari Malaka dan Johor, karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan Kerajaan
Melayu dan adatnya berpunca dari istana, Adat Melayu di Riau dapat dibagi
dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang diadatkan, dan adat
yang teradat.
a. Adat Sebenar Adat Yang dimaksud dengan "adat sebenar
adat" adalah prinsip adat Melayu yang tidak dapat diubah-ubah.
b. Adat yang Diadatkan "Adat yang diadatkan"
adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan adat itu terus
berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat
disamakan dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat
c. Adat yang Teradat Adat ini merupakan konsensus bersama
yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam
menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan
turun-temurun. Oleh karena itu, "adat yang teradat" ini pun dapat
berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang.
1. Adat - Istiadat
Dalam Pergaulan Orang Melayu Di Riau
a. Tutur - Kata
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena
kata sangat berpengaruh bagi keselarasan pergaulan, "Bahasa menunjukkan
bangsa". Pengertian "bangsa" yang dimaksud di sini adalah
"orang baik-baik" atau orang berderajat yang juga disebut "orang
berbangsa". Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan
tekanan suaranya akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan
kata-kata kasar dan tidak senonoh, dia tentu orang yang "tidak
berbangsa" atau derajatnya rendah.
b. Sopan - Santun Berpakaian
Dari pepatah "Biar salah kain asal jangan salah
cakap" juga tercermin bahwa salah kain juga merupakan aib. Dalam
masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya
budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan semakin sempurna pakaiannya.
Selain itu, sopan-santun berpakaian menurut Islam telah menyatu dengan adat.
c. Adab dalam
Pergaulan
Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah
norma Islam yang sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai
pantangan, larangan, dan hal-hal yang dianggap "sumbang". Pelanggaran
dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si pelanggar dianggap tidak beradab.
2. Nilai – Nilai Adab Melayu Riau Dalam
Kebudayaan Melayu Riau
Nilai-nilai Islam akan mendominasi dan mengakar kuat dalam
sistem budaya suatu masyarakat apabila nilai-nilai Islam berakulturasi ke dalam
budaya masyarakat melalui proses yang intensif, gradual, akomodatif, empatif,
dan berkelanjutan, bukan frontal dan konfrontatif Dari sisi sosiologi,
akulturasi Islam ke dalam suatu masyarakat dapat menjadikan Islam sebagai suatu
identitas dan pengikat solidaritas suatu komunitas (spirit de corps), karena
itu identitas dan solidaritas suatu komunitas tidak mutlak berdasarkan kesatuan
etnis. Ia juga dapat juga terbentuk atas kesatuan aqidah. Kesatuan sosial
inilah yang disebut dengan ummat. Dakwah islamiyah yang dilaksanakan dengan
pendekatan cultural, akomodatif –empatik, menghasilkan respon yang
positif-simpatik, dapat menekan intensitas konflik karena perbedaan sistem dan
orientasi nilai, mengembangkan toleransi, saling menghormati, dan menerima
kemajemukan keberagaman umat sebagai realitas historis dan manusiawi. Secara
empiris, akulturasi Islam ke dalam budaya Melayu Palalawan, telah menjadikan
Islam sebagai identitas kemelayuan orang Pelalawan, sehingga identitas
kemelayuan tidak selamanya didasarkan pada faktor genetis, tapi juga dapat
terbentuk atas dasar aqida. Dengan demikian, "Melayu" adalah
konsep terbuka yang dapat dimasuki siapa saja melalui koridor Islam. Sebaliknya
kemelayuan orang Melayu akan hilang apabila tidak berbajukan Islam. Secara
praktis operasional, penelitian ini memberi kontribusi bahwa orang-orang Melayu
akan mencapai kemajuan apabila pandangan hidup mereka yang dogmatis-mistis
ditransformasikan kepada pandangan hidup yang rasional empiris melalui
transformasi pemikiran dan pemahaman mereka atas Islam dan nilai-nilai
budayanya sendiri, sehingga keberagamaan dan keberbudayaan orang-orang Melayu
menjadi lebih rasional.
3. Sistem
kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
Jika pada mulanya suatu kampung di Riau didiami oleh mereka
yang sesuku, maka pada perkembangn kemudian telah banyak penduduk baru yang
bukan sesuku merupakan penduduk pendatang yang ikut berdiam di kampung
tersebut. Datangnya penduduk baru mungkin disebabkan perkawinan dan ada pula
disebabkan adanya mata pencaharian ditempat tersebut. Dengan demikian,
masyarakat kampung tadi tidak terikat oleh karena kesatuan suku, tetapi dengan
perkembangan baru itu, ikatan tersebut tidak lagi bersifat kesukuan, tetapi
terikat karena kesatuan tempat tinggal dan kampung halaman. Kampung-kampung
tersebut dipimpin oleh seorang kepala kampung yang disebut "Penghulu"
dan sekarang merupakan pamong desa yang dipilih berdasar peraturan pemerintah.
Disamping penghulu ini terdapat pula pimpinan bidang agama, yaitu
"imam". Imam inilah yang mengurus segala persoalan yang menyangkut
keagamaan, seperti menjadi imam mesjid, pengajian dan pelajaran agama,
nikah/cerai/rujuk, pembagian warisan, pengumpulan zakat dan lainnya. Dengan
demikian penghulu dengan didampingi oleh imam merupakan pimpinan kampung.
a.
Pimpinan dalam kesatuan hidup setempat
Terdapat bermacam-macam sebutan untuk pimpinan dalam kesatuan hidup
setempat. Pada mulanya struktur kesatuan hidup setempat berdasarkan kesukuan,
maka pemimpin adalah kepala suku atau kepala hinduk. Gelar kepala suku atau
kepala hinduk ini bermacam-macam, sebagai berikut:
a)
Datuk = disamping menjadi kepala suku, sekaligus menjadi pimpinan territorial
yang agak luas yang mencakup dan membawahi beberapa kepala suku dan
hinduk-hinduk.
b) Penghulu, batin, tua-tua, jenang dan
monti adalah gelar untuk kepala suku dan hinduk-hinduk. Perkembangan kemudian
menyebabkan pula perobahan batas-batas territorial, kalau pada mulanya
territorial mengikuti suku, yaitu dimana suku tersebut menetap, maka lingkungan
tempat tinggalnya itu menjadi daerah kekuasaannya. Tetapi keadaan ini kemudian
berbalik, yaitu suku yang mengikuti territorial. Teritoir ini kemudian disebut
"kampung", "rantau" atau "banjar". Mereka yang
tinggal dalam lingkungan teritoir tadi mejadi penduduk kampung dan dengan
sendirinya kampung ini mencakup beberapa kesukuan. Untuk kampung, rantau atau
banjar ini diangkat seorang kepala kampung yang disebut "penghulu".
b. Hubungan sosial dalam kesatuan hidup setempat
Dikampung-kampung penduduk saling mengenal satu sama lain,
karena masyarakat kampung memiliki rasa keterikatan antara satu sama lainnya
masih kuat. Kerukunan merupakan cirri khas dari masyarakat kampung-kampung
tersebut. Adanya kerukunan ini bukan disebabkan karena paksaan dari luar berupa
sangsi-sangsi hukuman yang keras, tetapi memang timbul dari hati nurani yang
dipengaruhi oleh norma-norma yang hidup dimasyarakat itu. Mulai dari
gerak-gerik, sikap dan pembawaan dipengaruhi oleh faktor ini. Menghindarkan
hal-hal yang dapat menimbulkan aib dan malu merupakan fakor pendorong untuk
terus berbuat dan bersikap baik terhadao sesamanya dan perasaan yang demikian
lebih kuat dibandingkan dengan perasaan berdosa. Segala tindakan harus dijaga
supaya tidak menimbulkan "sumbang mata", "sumbang telinga",
"sumbang adab". Secara keseluruhan haruslah dihindari hal-hal yang
menyebabkan orang di cap sebagai seorang yang "tidak tau adat'. Dengan
demikian jelaslah, norma-norma yang bersifat lebih besar pengaruhnya, sehingga
jarang dijumpai adanya pertikaian dan sengketa. Dalam hal ini pengaruh
kepemimpinan penghulu dan imam merupakan saham yang besar, sehingga
pertikaian-pertikaian yang timbul segera dapat didamaikan.
4. Stratifikasi
Sosial
a. Dasar-dasar stratifikasi sosial
Adapun masyarakat di saerah ini pada dasarnya terdiri dari
dua golongan, yaitu golongan asli dan golongan penguasa. Sebelum adanya
kerajaan Siak Sri Inderapura, kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah,
"territorial" bernaung dibawah kerajaan Johor. Setelah Raja Kecil
yang dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa meninggalkan Johor dan
terkhir membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan
"Kerajaan Siak Sri Inderapura". Dengan keadaan yang baru ini,
terjadilah pembagian golongan dalam masyarakat. Jika pada mulanya yang ada
hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka
dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru
sebagai berikut:
a) Raja/Ratu dan Permaisuri
yang merupakan tingkat teratas.
b) Keturunan Raja yang disebut
anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua,
c) Orang
baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya
beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga,
d) Orang kebanyakan
atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah. Adanya tingkatan sosial
tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara
pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak-haknya.
Keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara menunjukan
adanya perbedaan itu.
5. Perubahan dalam stratifikasi sosial
Perubahan ketata negaraan membawa perubahan pula dalam
stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak
mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi
sekarang, sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi
dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan
materiel seseorang menurut ukuran sekarang. Dalam upacara perkawinan misalnya,
maka yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan
yang seharusnya dieruntukan bagi seorang Raja atau Sultan. Dalam upacar adat
yang diadakan sekrang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat pemerintah
sesuai menurut kedudukannya sekarang, tidak lagi Datuk-datuk atau
Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya pucara
adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suuku bangsanya dengan kejayaannya
dengan masa lampau.
6. Struktur kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
Masyarakat Melayu Riau pada dasarnya terdiri dari dua dua
stratifikasi Sosial atau golongan, yaitu golongan masyarakat asli dan golongan
penguasa atau bangsawan kesultanan. Meskipun demikian, struktur sosial orang
Melayu Riau sebenarnya longgar dan terbuka bagi kebudayaan lain. Sehingga
banyak orang Arab dan Bugis yang menjadi bangsawan. Wan adalah gelar bangsawan
bagi orang Arab dan raja adalah gelar kebangsawanan orang Bugis. Mereka juga
mendapat kedudukan yang sangat tinggi (Sultan Siak dan Sultan-sultan Kerajaan
riau-Lingga). Sedangkan, gelar bangsawan untuk orang Melayu adalah tengku. Pada
awalnya kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah, "territorial"
bernaung di bawah kerajaan Johor. Namun setelah Raja Kecil dapat meduduki
takhta Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan meninggalkan Johor dan
membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan "Kerajaan
Siak Sri Inderapura". Dalam keadaan yang baru ini, pembagian golongan
dalam masyarakat Riau mulai berlaku. Jika pada mulanya yang ada hanya kepala
suku sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya
Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru sebagai berikut:
Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas. Keturunan Raja yang
disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua. Orang baik-baik yang terdiri
dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya merupakan
lapisan ketiga. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan
terbawah. Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang
adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya
semakin banyak hak- haknya, seperti; keistimewaan dalam tata pakaian, tempat
duduk dalam upaca-upacara pun menunjukan adanya perbedaan itu. Pada
perkembangan kekinian, seiring dengan perubahan ketatanegaraan akhirnya berubah
juga stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah
tidak mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi
sekarang. Sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi
dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan
keadaan materiel seseorang menurut ukuran sekarang. Dalam upacara perkawinan
misalnya, bagi mereka yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian
dan perlengkapan yang seharusnya diperuntukan bagi seorang Raja atau Sultan.
Dalam upacar adat yang diadakan sekarang, yang dianggap tinggi adalah
pejabat-pejabat pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, bukan lagi
Datuk-datuk atau Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya.
Adanya upacara adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suku bangsanya
dengan kejayaannya dengan masa lampau. Dengan demikian, perkembangan budaya
dalam pemahaman nation atau negara Indonesia hari ini, tidak mengenal kasta,
strata, jenis tertentu dalam masyarkat. Hal ini menunjukkan sisi egalitarian
bangsa Indonesia dalam menyikapi ragam budaya, serta garis sejarah yang panjang
di masing-masing daerahnya. Dengan sifat egalitarian ini, sangat memungkinkan
perbedaan yang ada bisa kita duduk sejajar dalam bermasyarakat meski berasal
dari asal usul, golongan atau nenek moyang yang berbeda. Dan pentingnya
pembelajaran adat dan budaya nenek moyang adalah untuk memahami makna filosofis
yang terkandung bukan untuk memperdalam jurang pemisaha kebhinekaan kita.
Siap buk
ReplyDelete